Rabu, 22 September 2010



Albert Einstein
Sains tanpa agama adalah pincang,
agama tanpa sains adalah buta  

Kosmologi yang merupakan cabang dari sains ternyata memiliki banyak persamaan dengan agama Buddha, hal ini disebabkan karena ajaran Buddha berasal dari pemahaman terhadap segala corak fenomena, baik yang bisa dideteksi oleh organ indera kita maupun yang di luar kemampuan persepsi manusia melalui organ indera. Banyak penemuan dalam bidang kosmologi yang dilakukan oleh para ilmuwan modern, temyata telah diajarkan oleh Sang Buddha pada kitab suci Tipitaka lebih dari 2500 tahun yang larnpau. Dengan ini, dapat dijelaskan bahwa agama Buddha sangat relevan dengan ilmu pengetahuan saat ini dan pada masa yang akan datang, baik dalam aspek teori maupun aplikasinya.

A.   Asal Mula Alam Semesta
Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu, seperti apa yang Beliau babarkan dalam Bhayaberava Sutta (Sutta ke-4 dari Majjhima Nikaya):
“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, …, ratusan, ribuan, banyak kalpa penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.”
Dalam hal ini, kita dapat langsung memahami bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama. Buddhisme tetap berpendapat bahwa teori Big Bang bukanlah awal dari semesta dan kehidupan itu sendiri karena masih banyak terdapat kelemahan pada teori tersebut. Teori Big Bang hanyalah salah satu mata rantai dari penyusutan dan pengembangan alam semesta.
B. Awal Kehidupan di Muka Bumi
 sabda Sang Buddha yg ada di Aganna Sutta yg merupakan sutra ke 27 dari Digha Nikaya:
 "Pada waktu itu semuanya merupakan suatu dunia yang terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.."

Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan berawal dari air. pernyataan ini tidak bertentangan dengan sains yg mengatakan bahwa bumi pada awalnya berbentuk cair.
 Sang Buddha bukanlah seorang ilmuwan, Buddha menggunakan metoda intuisi dan penembusan langsung untuk memahami corak fenomena dengan kekuatan batin, lain halnya dengan pendekatan ilmiah yang memerlukan perangkat lunak dan keras dalam mencapai suatu kesimpulan. Mengenai penembusan langsung, maka ada pernyataan dari ilmuan tentang agama Buddha, yaitu dari Albert Einstein:

Agama masa depan adalah suatu AGAMA KOSMIS. Ia harus melampaui faham "TUHAN YANG BERKEPRIBADIAN" dan menghindari dogma-dogma dan konsepsi-konsepsi theologis.
 Meliputi baik yang bersifat NATURAL maupun SPIRITUAL, ia harus
didasari oleh pengertian religius yang timbul dari PENGALAMAN NATURAL dan SPIRITUAL sebagai satu kesatuan yang terpadukan. Dan BUDDHISME memenuhi semua ketentuan itu.
Jika ada suatu ajaran apapun yang dapat MEMENUHI TUNTUTAN ILMU PENGETAHUAN
MODERN, maka itu adalah AJARAN SANG BUDDHA.

C. Banyaknya Galaksi di Alam Semesta
Selanjutnya ilmu pengetahuan juga telah mengungkapkan akan banyaknya galaksi dan dunia lain. Secala mengagumkan, Sang Buddha juga telah mengajarkan hal yang sama sekitar 2500 tahun yang lalu, seperti yang tertuang dalam Ananda Sutta (Angutara Nikaya III, 8,80):
“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika lokadhatu (tata surya kecil)? ….. Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ….. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu).”
Lebih lanjut, Sang Buddha mengatakan dalam Sutta yang sama:
“Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan “dvisahassi majjhimanika lokadhatu“. Ananda, seribu kali dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan “tisahassi mahasahassi lokadhatu“. Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaranya sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas, dalam sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi juga masih jauh melampauinya. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan kosmologi modern.
Satu tisahassi mahasahassi lokadhatu kadang-kadang diistilahkan dengan “Sistem Dunia Besar”. Pada Sutta-Sutta Buddhis, banyak ditemukan konsep jumlah sistem dunia yang tak terbatas banyaknya, dimana jumlah sistem dunia melebihi jumlah pasir halus yang ada di sungai Gangga. Bagi Buddhisme, kemungkinan adanya kehidupan di planet lain bukanlah suatu hal yang mengherankan, karena Sutta-Sutta Buddhis telah mengatakan bahwa bumi bukanlah satu-satunya planet yang mempunyai kehidupan dan juga bukan planet pertama yang mempunyai makhluk hidup.
D. Bentuk-Bentuk Galaksi di Alam Semesta
Sang Buddha juga telah mengajarkan aneka bentuk galaksi yang ada di alam sernesta ini sebagaimana yang ada pada Avatamsaka Sutta bab 4:
“Putra-putra Buddha, sistem-sistem dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Ada perbedaan (bentuk) yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung, beberapa seperti kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha …. “
Galaksi yang berbentuk seperti pusaran misalnya galaksi kita sendiri yaitu Bimasakti dan galaksi terdekat yaitu Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup misalnya yaitu Nebula Kepala Kuda (Horse Head Nebula). Hal yang mengagumkan adalah bahwa Sang Buddha telah mengetahui berbagai bentuk galaksi, padahal keberadaan gaiaksi-galaksi tersebut baru bisa diketahui para ilmuwan dengan menggunakan teleskop yang canggih dan modern.
E.  Lama Pembentukan Planet Bumi
Sang Buddha menyatakan bahwa terjadi 4 fase dalam kehidupan suatu sistem dunia, yaitu fase kekosongan, fase pembentukan, fase kediaman, dan fase kehancuran. Masing-masing fase tersebut berlangsung sangat lama, dimana dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menengah. Sutta-Sutta Buddhis selalu konsisten menyatakan bahwa pembentukan dan kehancuran sistem dunia memerlukan waktu yang lama, selaras dengan teori kosmologi yang mengatakan bahwa pembentukan planet, bintang, dan galaksi memerlukan proses waktu yang sangat lama.
Menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi memerlukan 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan rujukan ini, maka masa pembentukan planet bumi (fase pernbentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000 tahun atau hampir 3 milyar tahun lamanya. Intinya, menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi memerlukan waktu milyaran tahun, bukan 6 hari atau 6 ribu tahun. Para ahli astrofisika dan ahli geologi setuju bahwa umur bumi bukan ribuan tahun, melainkan sudah milyaran tahun.
Fase pembentukan planet bumi selama 2,78 milyar tahun tersebut belum termasuk fase kediaman (adanya makhluk hidup yang berdiam). Menurut Buddhisme, fase kediaman sudah memasuki pertengahan kalpa ke-11. Bila digabungkan fase pembentukan bumi dengan fase kediaman yang sudah memasuki kalpa ke-11, maka total umur bumi menurut Buddhisme adalah 4,38 milyar tahun (2,78 milyar + 11,5 x 139,6 juta). Adapun menurut estimasi ahli geologi, urnur bumi adalah sekitar 4,55 milyar tahun. Kedekatan kedua angka tersebut benar-benar telah mencengangkan banyak orang.
F.   Jarak Antara Bumi dan Bulan
Dapat dilihat kutipan sebuah bait dari Salistamba Sutta ayat 37 yang berbunyi demikian (versi bahasa Mandarin dan Tibet):
“Lebih jauh lagi Sariputta, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana dari bumi.”
Dapat dikatakan 42.000 yojana adalah sekitar 420.000 km. Hal ini sangat dekat dengan jarak yang sebenarnya dari bumi ke bulan, yakni sekitar 400.000 km. Akurasi dalam perhitungan jarak bulan dari bumi bisa dianggap sebagai hal yang luar biasa untuk zaman itu, karena peralatan astronomi modern belum ada sama sekali pada masa kehidupan Sang Buddha.